Pages

Friday, January 27, 2017

AIR MINUM DARI LANGIT: (Kisah Ummu Syuraik Asadiyyah)


Dialah Ummu Syuraik Asadiyyah. Namanya Ghaziyyah binti Jabir bin Hakim ad-Dausiyah. Islam sudah masuk ke dalam hati Ummu Syuraik ketika ia di Mekah. Ketika iman sudah bersemayam di dalam hati, ia langsung memahami kewajiban yang harus ia lakukan terhadap agama ini sehingga ia curahkan waktu dan tenaga untuk menyebarkan dakwah tauhid.

Ummu Syuraik aktif berdakwah kepada kaum wanita. Ia mengajak wanita untuk mencintai Islam tanpa lelah dan jemu. Ia sadar betul bahwa ada banyak pengorbanan, duka, derita, gangguan, dan ujian yang tengah menanti. Sebab, ia yakin bahwa orang beriman pasti akan diuji dan ujian Allah pun kemudian berlaku baginya. Namun sungguh ajaib, di tengah ujian itulah, Allah menampakkan salah satu ayat-Nya, tanda kekuasaan-Nya, yang dengan sebab itulah orang-orang masuk Islam karena menyaksikan karamah yang didapatkan oleh Ummu Syuraik.

Mari kita berterima kasih kepada Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliya’ dan Ibnul Jauzi di dalam kitabnya, Al-Muntazham dan Shifatus Shafwah.

Abu Nu’aim menyebutkan bahwa Ibnu Abbas bercerita, “Pada saat masih berada di Mekah, Ummu Syuraik sudah tertarik dengan Islam sehingga ia dengan cepat menjadi muslimah. Ketika itu suaminya adalah Abu Akir ad-Dausi. Setelah memeluk Islam, lalu ia secara sembunyi-sembunyi menemui perempuan-perempuan Quraisy yang lain untuk memperkenalkan dan mengajak mereka masuk ke agama yang sama dengan agama yang ia peluk, Islam. Namun, misinya itu kemudian diketahui oleh orang-orang musyrik Mekah sehingga mereka menangkapnya. Mereka lalu berkata, ‘Sekiranya bukan karena kaummu, niscaya kami telah menyiksamu. Sekarang, kami akan menyerahkan urusanmu ini kepada kaummu.’

Ummu Syuraik bercerita, ‘Orang-orang musyrik dari kaumku itu lantas membawaku pergi dengan menyuruhku naik ke atas tanpa ada pelindung apa pun dari terik matahari. Mereka membiarkanku dalam keadaan seperti itu selama tiga jam tanpa memberi makan dan minum. Selanjutnya, setiap kali mereka akan berhenti untuk beristirahat di suatu tempat, mereka terlebih dahulu mengikatku di bawah sinar matahari sebelum pergi berteduh. Selain itu, mereka juga tidak memberiku makan atau minum.

Suatu saat, tepatnya ketika mereka beristirahat di suatu tempat dan meninggalkanku dalam keadaan sekarat, tiba-tiba aku merasakan ada suatu benda yang sangat sejuk menyentuh dadaku. Ketika aku memperhatikannya, ternyata benda itu adalah sebuah bejana yang berisi air. Ketika aku baru meminum sedikit, bejana itu lalu terangkat. Tidak lama berselang, bejana itu datang lagi sehingga aku kembali mereguk air di dalamnya. Belum lama minum, bejana itu kembali terangkat. Hal seperti itu berlangsung berkali-kali. Pada kali yang terakhir, ember itu turun, aku pun minum hingga benar dahagaku lepas. Setelah itu, aku juga menyiramkannya ke seluruh tubuh dan pakaianku.

Pada saat kaumku bangun dari tidur dan bersiap-siap melanjutkan perjalanan, mereka sangat kaget melihat sisa air yang membekas di dekat untaku serta kondisiku yang segar bugar. Mereka pun langsung berkata, ‘Pasti engkau telah melepaskan tali ikatanmu lalu mengambil persediaan air kami dan kemudian meminumnya.’

Aku pun menjawab, ‘Demi Allah, aku tidak melakukannya. Namun, yang terjadi adalah begini dan begini.’

Mereka lalu berkata, ‘In kunti shadiqatan, ladinuki khairun min dinina, jika engkau berkata benar, sungguh agamamu lebih baik daripada agama kami.’

Ketika mereka memeriksa perbekalan air, ternyata air yang ada tidak berkurang sedikit pun. Melihat kejadian tersebut, mereka pun lantas berbondong-bondong masuk Islam seketika itu juga.”

JENAZAH YANG DIPIKUL MALAIKAT: (Kisah Sa’ad bin Mu’adz)


Ibnu Sa’ad di dalam kitabnya Ath-Thabaqat mengetengahkan kisah tentang Sa’ad bin Mu’adz. Dari Mahmud bin Labid, ia berkata, “Ketika pelupuk mata Sa’ad terluka parah terkena bidikan panah dalam Perang Khandaq, para sahabat membawanya kepada seorang wanita bernama Rufaidah yang biasa mengobati luka. Setiap kali Nabi Saw, lewat rumah wanita itu, baik pada pagi maupun sore hari, beliau selalu mampir menjenguk dan menanyakan keadaannya.

Pada suatu malam ketika Sa’ad dipindahkan oleh kaumnya, ia mengalami kritis. Lalu, mereka membawanya ke perkampungan Bani Abdul Asyhal. Seperti biasanya ketika Rasulullah Saw, menjenguk untuk menanyakan keadaannya, beliau mendapat laporan bahwa Sa’ad sudah dibawa pergi oleh kaumnya. Beliau segera berangkat bersama kami. Beliau berjalan sangat cepat sehingga tali sandal kami putus dan kain serban kami jatuh dari pundak. Ketika kami mengadukan hal itu, beliau menjawab, ‘Inni akhafu an tasbiqanal malaikah ilaihi fa taghsiluhu kama ghasalat Hanzhalah, aku khawatir didahului oleh para malaikat yang akan memandikannya seperti yang pernah terjadi pada Hanzhalah.’

Ketika beliau tiba, jenazah Sa’ad bin Mu’adz sedang di mandikan. Ibunya menangis meratap sambil membaca sya’ir duka.

Rasulullah Saw, bersabda, ‘Setiap wanita yang meratap itu berdusta, kecuali ibunda Sa’ad.’ Selanjutnya, jenazah Sa’ad dibawa keluar. Orang-orang yang memikulnya berkata, ‘Wahai Rasulullah, kami tidak pernah memikul jenazah yang lebih ringan dari jenazahnya Sa’ad.’

Beliau bersabda, ‘Ma yamna’ukum min an yakhiffa ‘alaikum wa qad habitha minal malaikah kadza wa kadza, bagaimana tidak ringan, beberapa malaikat juga ikut turun membantu kalian membawa jenazah Sa’ad.’ Beliau menyebutkan beberapa nama malaikat yang tidak aku hafal.”

Wednesday, January 25, 2017

JASAD YANG TIDAK DITERIMA BUMI



Menghina Nabi Muhammad Saw, sama dengan menghina Allah yang telah mengutus beliau sebagai Rasul-Nya. Oleh karena itu, tidak ada balasan bagi orang yang menghina Nabi-Nya kecuali Allah akan membalasnya langsung ketika di dunia sebelum siksa yang lebih berat lagi di akhirat nanti. Inilah kisah orang yang jasadnya tidak diterima oleh bumi karena ia mencaci dan menghina Nabi Muhammad Saw. Ini adalah bukti kehinaan di dunia sebelum kehinaan yang lebih berat lagi di akhirat nanti.

Imam Bukhari dalam Shahih-nya meriwayatkan dari Abdul Aziz bin Shuhab r.a. ia berkata, “Ada seseorang yang beragama Nasrani, lalu ia masuk Islam dan membaca Surat al-Baqarah dan Ali Imran. Ia juga menulis sesuatu untuk Nabi Saw. Lalu ia kembali menjadi menjadi Nasrani. Ia berkata, ‘Muhammad tidak mengetahui, kecuali apa yang aku tuliskan untuknya.’ Lalu, Allah mematikan orang itu. Teman-temannya pun menguburkan jasadnya. Keesokan harinya, tubuh orang itu telah dimuntahkan kembali oleh tanah. Teman-temannya berkata, Hadza fi’lu Muhammad wa ashhabihi, lamma hariba minhum nabasyu ‘an shahibina fa alqauhu, ini adalah perbuatan Muhammad dan teman-temannya karena ia telah melarikan diri dari mereka. Mereka menggali kuburan teman kita dan melemparnya keluar.’

Teman-temannya lalu menggali kuburan lagi untuknya dan memperdalam lubangnya. Keesokan harinya, jasad itu kembali dimuntahkan oleh bumi. Mereka kembali berkata, ‘Ini adalah perbuatan Muhammad dan teman-temannya. Mereka menggali kuburan teman kita-karena ia telah melarikan diri dari mereka-dan melemparnya keluar.’ Mereka lalu menggali kuburan yang lebih dalam lagi sekuat mereka. Keesokan harinya, tubuhnya itu telah dilempar kembali oleh bumi. Mereka pun menyadari bahwa itu bukan perbuatan manusia. Oleh karena itu, mereka meninggalkannya.” (HR. Bukhari).

Imam Muslim juga meriwayatkan kisah di atas dari riwayat Sulaiman bin Mughirah dari Tsabit dari Anas r.a. ia berkata, “Dulu di antara kami ada seseorang dari Bani Najjar. Ia telah membaca Al-Baqarah dan Ali Imran. Ia juga menulis sesuatu untuk Nabi Saw. Suatu hari ia melarikan diri dan bergabung dengan para Ahlul Kitab. Mereka mengagung-agungkannya. Mereka berkata, ‘Orang ini dulu pernah menulis untuk Muhammad.’ Orang-orang yang mendengar menjadi kagum kepadanya. Tidak lama kemudian, Allah mencabut nyawa orang itu, mereka menggali kuburan untuknya dan menimbunnya. Keesokan harinya, bumi telah memuntahkannya keluar. Oleh karena itu mereka meninggalkannya.”

Mengomentari kedua hadits di atas, Ibnu Taimiyah dalam Ash-Sharimul Maslul berkomentar, “Orang terlaknat ini, yang telah memfitnah Nabi Saw, dan mengatakan bahwa beliau tidak mengetahui, kecuali apa yang ditulis olehnya, telah dicabut nyawanya oleh Allah. Allah juga telah menghinakan dirinya dengan melempar tubuhnya keluar dari dalam tanah setelah berkali-kali dikuburkan. Peristiwa itu adalah suatu peristiwa yang tidak biasa. Peristiwa tersebut menunjukkan bahwa itu adalah hukuman atas ucapan dan kebodohannya. Sebab, pada umumnya orang mati tidak akan mengalami hal itu. Kejadian itu juga menunjukkan bahwa perbuatan itu lebih buruk dari sekedar murtad. Sebab, pada umumnya orang murtad tidak mengalami apa yang dialami oleh orang itu. Selain itu, kejadian tersebut menunjukkan bahwa Allah menolong agama-Nya, membalas orang yang mencela dan menghina Rasulullah, dan membuka kedok para pendusta. Hal itu terjadi karena manusia tidak dapat menerapkan hukuman kepadanya.

Sama halnya dengan kisah tersebut, apa yang diceritakan kepada kami oleh sejumlah ahli fikih dan ulama Islam yang bisa dipercaya. Mereka bercerita tentang pengalaman mereka yang terjadi berkali-kali ketika mengepung sebuah benteng atau kota-kota di pantai negeri Syam. Seperti kisah pengepungan Bani Ashfar yang dilakukan oleh kaum muslimin pada zaman kita hidup ini. Mereka berkata, “Kami pernah mengepung benteng atau kota selama satu bulan atau lebih. Namun, mereka tetap bertahan sehingga hampir saja kami putus asa. Sampai suatu ketika mereka menghina Rasulullah Saw, dan mencela kehormatannya. Oleh karena itu, Allah pun mempercepat dan mempermudah kemenangan kami yang tidak sampai berselang satu atau dua hari. Kami memenangkan pengepungan itu dengan cara kekerasan sehingga timbul korban yang besar dari pasukan musuh. Kaum muslimin berkata, ‘Bahkan, kami saling memberi kabar gembira dengan kemenangan yang segera datang jika kami mendengar mereka menghina Rasulullah Saw, meskipun hati kami sangat marah atas ucapan mereka itu.”

Beberapa teman kami yang dapat dipercaya juga menceritakan kisah serupa yang dialami kaum muslimin di bagian barat ketika menghadapi kaum Nasrani. Merupakan sunnatullah, Allah menghukum musuh-Nya kadang dengan adzab dari-Nya, dan kadang dengan tangan para hamba-Nya yang beriman.

Begitu juga ketika Nabi Saw, dapat menangkap Ibnu Abi Sarh. Beliau menghalalkan darahnya karena ia menghina kenabian dan memfitnahnya. Padahal, beliau menerima keimanan seluruh penduduk Mekah yang dahulu memeranginya dengan gigih. Begitu juga sunah bahwa orang murtad tidak boleh dibunuh hingga ia diminta untuk bertaubat, baik secara wajib maupun anjuran.

Tuesday, January 24, 2017

BAHAYA NAFSU TERSEMBUNYI: (Kisah Ahmad bin Miskin)




Beberapa pakar sejarah Islam meriwayatkan sebuah kisah menarik. Kisah Ahmad bin Miskin, seorang ulama abad ke-3 H dari kota Basrah, Irak. Beliau menuturkan lembaran episode hidupnya, Ahmad bin Miskin bercerita:

Aku pernah diuji dengan kemiskinan pada tahun 219 Hijriyah. Saat itu, aku sama sekali tidak memiliki apa pun, sementara aku harus menafkahi seorang istri dan seorang anak. Lilitan hebat rasa lapar terbiasa mengiringi hari-hari kami.

Maka aku berazam untuk menjual rumah dan pindah ke tempat lain. Aku pun berjalan-jalan mencari orang yang bersedia membeli rumahku.
Bertemulah aku dengan sahabatku Abu Nashr dan kuceritakan kondisiku. Lantas dia malah memberiku dua lembar roti yang berisi manisan dan berkata, ‘Berikan makanan ini kepada keluargamu’.

Ujian di Tengah Jalan

Di tengah perjalanan pulang, aku berpapasan dengan seorang wanita fakir bersama anaknya. Tatapannya jatuh di kedua lembar rotiku. Dengan memelas dia memohon, ‘Tuanku, anak yatim ini belum makan, tak kuasa terlalu lama menahan siksa lapar. Tolong beri dia sesuatu yang bias dia makan. Semoga Allah merahmati Tuan’.

Sementara itu, si anak menatapku polos dengan tatapan yang takkan kulupakan sepanjang hayat. Tatapan matanya menghanyutkan akalku dalam khayalan ukhrowi, seolah-olah surge turun ke bumi, menawarkan dirinya kepada siapapun yang ingin meminangnya, dengan mahar mengenyangkan anak yatim miskin dan ibunya ini.

Tanpa ragu sedikitpun, kuserahkan semua yang ada di tangaku. ‘Ambillah, beri dia makan,’ kataku pada si ibu.

Demi Allah, padahal waktu itu tak sepeserpun dinar atau dirham kumiliki. Sementara di rumah, keluargaku sangat membutuhkan makanan itu.

Spontan, si ibu tak kuasa membendung air mata dan si kecil pun tersenyum indah bak purnama.

Kutinggalkan mereka berdua dan kulanjutkan langkah gontaiku, sementara beban hidup terus bergelayutan dipikiranku.

Sejenak, kusandarkan tubuh ini di sebuah dinding, sambal terus memikirkan rencanaku menjual rumah.

Dalam posisi seperti itu, tiba-tiba Abu Nashr terbang kegirangan mendatangiku.

‘Hei, Abu Muhammad! Kenapa kau duduk-duduk di sini sementara limpahan harta sedang memenuhi rumahmu?’ tanyanya.

‘Subhanallah…!’ jawabku kaget. ‘Dari mana datangnya?’

‘Tadi ada pria dating dari Khurasan. Dia bertanya-tanya tentang ayahmu atau siapapun yang punya hubungan kerabat dengannya. Dia membawa berduyun-duyun angkutan barang penuh berisi harta’, ujarnya.

‘Terus?’ tanyaku keheranan.

‘Dia dulu saudagar kaya di Bashrah ini. Kawan ayahmu. Dulu ayahmu pernah menitipkan kepadanya harta yang telah ia kumpulkan selama 30 tahun. Lantas dia rugi besar dan bangkrut. Semua hartanya musnah, termasuk harta ayahmu.

Lalu dia lari meninggalkan kota ini menuju Khurasan. Di sana, kondisi ekonominya berangsur-angsur membaik. Bisnisnya melajit sukses. Kesulitan hidupnya perlahan-lahan pergi, berganti dengan limpahan kekayaan.

Lantas dia kembali ke kota ini, ingin meminta maaf dan memohon keikhlasan ayahmu atau keluarganya atas kesalahan yang lalu.

Maka sekarang, dia dating membawa seluruh harta hasil keuntungan niaganya yang telah dia kumpulkan selama 30 tahun berbisnis. Dia ingin berikan semuanya kepadamu, berharap ayahmu dan keluarganya berkenan memaafkannya’.


Kehidupan Baru

Kalimat puji dan syukur kepada-Nya berdesakan meluncur dari lisanku. Sebagai bentuk syukurku, segera kucari wanita faqir dan anaknya tadi. Aku menyantuni dan menanggung biaya hidup mereka seumur hidup.

Aku pun terjun ke dunia bisnis seraya menyibukkan diri dengan kegiatan social, sedekah, santunan dan berbagai bentuk amal shalih. Adapun hartaku, dia terus bertambah ruah tanpa berkurang.

Tanpa sadar, aku merasa takjub dengan amal shalihku. Aku merasa, telah mengukir lembaran catatan malaikat dengan hiasan amal kebaikan. Ada semacam harapan pasti dalam diri, bahwa namaku mungkin telah tertulis di sisi Allah dalam daftar orang-orang shalih.

Timbangan 2 Lembar Roti

Suatu malam, aku tidur dan bermimpi. Aku lihat, diriku tengah berhadapan dengan hari kiamat.

Aku juga lihat, manusia bagaikan ombak bertumpukan dan berbenturan satu sama lain.

Aku jiga lihat, badan mereka membesar. Dosa-dosa pada hari itu berwujud dan berupa, dan setiap orang memanggul dosa-dosa itu masing-masing di punggungnya.

Bahkan aku melihat, ada seorang pendosa yang memanggul di punggungya beban besar seukuran KOTA (kota tempat tinggal, pent), isinya hanyalah dosa-dosa dan hal-hal yang menghinakan.

Kemudia, timbangan amal pun ditegakkan, dan tiba giliranku untuk penghitungan amal.

Seluruh amal burukku di taruh di salah satu daun timbangan, sedangkan amal baikku di daun timbangan yang lain. Ternyata amal burukku jauh lebih berat dari pada amal baikku.

Tapi ternyata, perhitungan belum selesai. Mereka mulai menaruh satu per satu berbagai jenis amal baik yang pernah kulakukan.

Namun alangkah ruginya, ternyata dibalik semua amal itu terdapat NAFSU YANG TERSEMBUNYI. Nafsu tersembunyi itu adalah riya’, ingin dipuji, merasa bangga dengan amal shaleh. Semua itu membuat amalku tak berharga. Lebih buruk lagi, ternyata tidak ada satu pun amalku yang lepas dari nafsu-nafsu itu.

Aku putus asa.

Aku yakin aku akan binasa.

Aku tidak punya alasan lagi untuk selamat dari siksa neraka.

Tiba-tiba, aku mendengar suara, ‘Masihkah orang ini punya amal baik?’

‘Masih’ jawab seseorang. ‘Masih tersisa ini’.

Aku pun penasaran, amal bai kapa gerangan yang masih tersisa?

Aku berusaha melihatnya. Ternyata, itu hanyalah dua lembar roti manisan yang pernah kusedekahkan kepada wanita fakir dan anaknya.

Habis sudah harapanku. Sekarang aku benar-benar yakin akan binasa sejadi-jadinya. Bagaimana ,ungkin dua lembar roti ini menyelamatkanku, sedangkan dulu aku pernah bersedekah 100 dinar sekali sedekah (100 dinar = ± - 425 gram emas), dan itu tak berguna sedikit pun. Aku merasa telah tertipu.

Segera 2 lembar roti itu ditaruh di timbanganku. Tak kusangka, ternyata timbangan kebaikanku bergerak turun sedikit, da terus bergerak turun sampai-sampai lebih berat sedikit dibandingankan timbangan kejelekan.

Tak sampai disitu, ternyata masih ada lagi amal baikku. Yaitu berupa air mata wanita faqir itu yang mengalir saat aku berikan sedekah. Air mata tak terbendung yang mengalir kala terenyuh akan kebaikanku. Aku, yang kala itu lebih mementingkan dia dan anaknya disbanding keluargaku.
Sungguh tak terbayang, saat air mata itu ditaruh, ternyata timbangan baikku semakin turun dan terus turun. Hingga akhirnya aku mendengar seseorang berkata, ‘Orang ini telah selamat’.


Renungan
Adakah terselip dalam hati kita nafsu ingin dilihat hebat oleh orang lain pada ibadah-ibadah kita?

Buang sekarang keinginan itu. Biarkan hanya untuk Allah saja. Karena segala sesuatu yang selain Karena-Nya hanya tipuan kosong belaka.