Pages

Friday, February 17, 2017

CUNGKUP GUNUNG SEMBUNG


Sebetulnya makam Sunan Gunung Jati berada di kampung Gunung Sembung. Sekarang dipisahkan oleh jalan raya menuju Indramayu dari kawasan asli yang disebut Astana Gunung Jati. Di sini juga terdapat beberapa makam yang diduga keramat, terutama yang terkenal sebagai pesarehan Syaikh Datuk Hafidz yang kabarnya berasal dari Baghdad dan mendirikan Pesantren atau Pengguron Jala Tunda. Di Pesantren inilah kemudian Syarif Hidayatullah bermukim serta mengajar hingga namanya tersohor dengan julukan Sunan Gunung Jati. Setelah wafat, baru jenazahnya ditanam di Gunung Sembung yang terletak berseberangan.

Berbeda dengan riwayat lain yang mengungkapkan bahwa Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah adalah juga Fatahillah atau Fatalehan, legenda setempat justru menyatakan dengan tegas bahwa Syarif Hidayatullah bukan Fatahillah. Mereka hanya dua orang wali yang kebetulan hidup satu zaman.

Adapun menurut legendawan Cirebon, Syarif Hidayatullah adalah keturunan raja Mesir dan Prabu Siliwangi dari Kerajaan Pajajaran. Konon, seorang mubaligh bernama Syaikh Quratul'ain dari Mekah mendarat di Pulau Bata (Karawang-sekarang) membawa pengikut seorang gadis cantik dari Campa, namanya Nyi Mas Subang Larang. Ketika sang mubaligh menghadap Prabu Siliwangi untuk memohon izin menyebarkan Islam di jajahan Pajajaran, sang Raja terpikat oleh keelokan muridnya. Prabu Siliwangi lantas melamarnya. Gadis itu bersedia menjadi permaisuri sang Raja asalkan pernikahannya dilaksanakan sesuai dengan ajaran Islam.

Raja menyanggupi. Bahkan kabarnya langsung memeluk agama Islam. Dari perkawinan tersebut lahirlah tiga orang anak, yaitu Raden Walangsungsang, Nyi Mas Rara Santang, dan Raden Jaka Sengara yang kemudian masyhur sebagai Kian Santang.

Raden Walangsungsang sesudah dewasa beristrikan Nyi Mas Indah Ayu. Beberapa waktu kemudian, disertai istri dan adik perempuannya, Raden Walangsungsang meninggalkan Pajajaran untuk berguru memperdalam agama Islam kepada Syaikh Nurul Jati di Pesisir Jati. Setelah itu Walangsungsang diperintahkan gurunya untuk membangun padepokan di sebelah selatan Pasir Jati. Di situ, selain bercocok tanam untuk menunjang kehidupan mereka, Walangsungsang beserta istri dan adiknya juga mencari udang kecil yang disebut rebon. Itulah sebabnya daerah itu dinamakan Cirebon.

Setelah Cirebon berkembang pesat, Walangsungsang bertiga ditugaskan berangkat ke Tanah Suci untuk menunaikan ibadah haji. Di Mekah Nyi Mas Rara Santang berpapasan dengan raja Mesir, Sultan Syarif Abdullah. Raja Mesir tersebut terpikat oleh putri dari Pajajaran itu. Mereka kemudian menikah. Dari perkawinan inilah lahir Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati.

Itulah riwayat sang Sunan yang kuburannya dikeramatkan menurut versi legendawan Cirebon. Tentu saja mana yang benar dari segi sejarah di antara beragam cerita dan dongeng itu, sulit untuk ditetapkan secara tegas. Lantaran, sebagaimana pekatnya misteri yang melingkupi kehidupan para wali, begitu pula silsilahnya masih tetap diperselisihkan hingga saat ini. Mungkin perselisihan itu bakal menjadi legenda sendiri. Siapa tahu.

Maka, ketika kami melangkah ke luar meninggalkan makam Sunan Gunung Jati dengan lagi-lagi dikerubuti para pengutip derma yang kali ini terdiri atas sejumlah orang tua dan kaum dewasa, bersamaan dengan kepulan debu membumbung ke udara, membumbung pula tanda tanya tidak terjawab. Mengapa keramat makam itu hanya memberi berkah kepada masyarakat luar, dan tidak kepada penduduk sekitar yang tampaknya serba suram dan kelabu?

No comments:

Post a Comment