Pages

Tuesday, February 21, 2017

TIDAK INGIN DIKENAL


Di antara hamba-hamba Allah ada orang yang dipandang sebelah mata oleh manusia, tetapi ia memiliki kedudukan mulia di hadapan Rabb semua manusia. Ia diremehkan oleh penduduk bumi, tetapi ia dikenal oleh penghuni langit. Ia bertakwa, tetapi menyembunyikan ketakwaannya dan tidak ingin dikenal oleh manusia. Cukuplah menjadi kebanggan baginya jika ia dikenal Allah saja dan sama sekali tidak menghiraukan ucapan manusia tentang dirinya. Alangkah mulianya! Alngah tawadhu’nya! Alangkah suci hatinya!

Ini adalah kisah seorang budak hitam, orang yang kehadirannya tidak dianggap di tengah-tengah manusia, tetapi ia memiliki doa mustajab. Doanya langsung didengar dan dikabulkan oleh Allah Swt. Kisah budak hitam ini disebutkan oleh Ibnul Jauzi dalam kitabnya, Al-Muntazham, ketika menyebutkan beberapa orang yang meninggal pada tahun 158 H, di antaranya adalah seorang budak yang pernah ditemui oleh Ibnu Mubarak ini.

Ibnul Jauzi menyebutkan kisah ini dari Ibnu Mubarak r.a. langsung. Ibnu Mubarak berkata, “Aku mendatangi Mekah ketika manusia ditimpa paceklik, ketika itu mereka sedang melaksanakan shalat Istisqa’ di Masjidil Haram. Aku bergabung dengan orang-orang yang berada di dekat pintu Bani Syaibah. Tiba-tiba muncul seorang budak hitam yang membawa dua potong pakaian yang terbuat dari karung, salah satunya ia jadikan sebagai sarung dan yang lainnya ia jadikan sebagai selendang di pundaknya. Ia mencari tempat yang agak tersembunyi di sampingku.

Aku mendengar ia berdoa, “Ya Allah, banyaknya dosa dan perbuatan yang buruk telah membuat wajah hamba-hamba-Mu menjadi suram. Engkau telah menahan hujan dari langit untuk mendidik mereka. Oleh karena itu, aku memohon kepada-Mu, wahai Dzat yang Maha Penyantun yang tidak segera menimpakan azab, wahai Dzat yang hanya dikebaikannya oleh hamba-hamba-Nya, turunkan hujan sekarang juga!” Ia selalu mengulang-ngulang kalimat, ‘Turunkan hujan sekarang juga!’

Setelah itu langit penuh dengan awan dan hujan pun datang dari semua tempat. Ia masih saja duduk di tempatnya sambil terus bertasbih, sementara aku tidak bisa menahan air mataku.

Ketika ia bangkit meninggalkan tempatnya, aku membuntutinya hingga aku tahu di mana tempat tinggalnya. Aku kemudian pergi menemui Fudhail bin Iyadh. Ketika melihatku, ia pun bertanya, ‘Mengapa melihat dirimu tampak berduka?’

‘Orang lain telah mendahului kita menuju Allah, Dia pun mencukupinya. Sementara kita tidak,’ jawabku.

Fudhail bertanya, ‘Apa maksudnya?’

Aku pun menceritakan kejadian yang baru saja aku saksikan. Mendengar ceritaku, Fudhail bin Iyadh pun terjatuh karena tidak mampu menahan rasa haru. Lalu, Fudhail bin Iyadh pun berkata, ‘Celaka engkau, wahai Ibnu Mubarak, ajaklah aku untuk menemuinya!’

Aku jawab, ‘Waktunya sempit, biarkan aku sendiri yang akan mencari berita tentangnya.’

Keesokan harinya, aku menunaikan shalat Shubuh. Setela shalat aku pergi menuju tempat tinggal budak hitam yang aku lihat kemarin. Ternyata di depan pintu rumahnya ada orang tua yang duduk di atas sebuah alas yang digelar. Ketika ia melihatku, ia pun langsung mengenal aku dan mengatakan, ‘Selamat datang, wahai Abu Abdurahman, apa keperluanmu?’

‘Aku membutuhkan seseorang budak hitam,’ jawabku.

‘Aku memiliki beberapa budak, silahkan pilih mana yang engkau inginkan dari mereka.’

Lalu, ia pun berteriak memanggil budak-budaknya. Keluarlah seorang budak satu per satu kepadaku hingga keluarlah budak yang kumaksud. Ketika melihatnya, aku pun tidak kuasa menahan tumpahan air mata.

Tuannya bertanya kepadaku, ‘Apakah ini budak yang engkau inginkan?’

‘Ya,’ jawabku.

Tuannya berkata lagi, ‘Budak yang ini tidak dijual.’

Aku bertanya, ‘Mengapa tidak dijual?’

Tuannya menjawab, ‘Aku mendapatkan berkah dengan keberadaanya di rumah ini. Di samping itu, ia sama sekali tidak menjadi beban bagiku.’

Aku bertanya, ‘Lalu, dari mana makananya?’

Tuannya menjawab, ‘Ia mendapatkan setengah daniq (satu daniq = seperenam dirham-pent) atau kurang atau lebih dengan berjualan tali, itulah kebutuhan makan sehari-harinya. Kalau ia sedang tidak berjualan, pada hari itu ia gulung talinya. Budak-budakku telah mengabarkan kepadaku bahwa pada malam hari ia hanya tidur sebentar. Ia pun tidak seka berbaur dengan budak-budak yang lain karena sibuk dengan dirinya. Hatiku pun telah mencintainya.’

Aku katakan pada tuan budak hitam tersebut, ‘Apakah aku akan pergi menemui Sufyan ats-Tsaury dan Fudhail bin Iyadh dalam keadaan kebutuhanku tidak terpenuhi?’

Tuan itu menjawab, ‘Kedatangan engkau ke sini merupakan perkara yang besar. Kalau begitu, ambil budak ini sesuai keinginanmu!’ Aku pun membelinya dan membawanya ke rumah Fudhail bin Iyadh.
Setelah berjalan beberapa saat, budak itu bertanya kepadaku, ‘Wahai tuanku!’

Aku jawab, ‘Labaik, aku penuhi panggilanmu.’

Budak itu berkata, ‘Jangan katakan Labaik kepadaku karena seorang budak yang lebih pantas untuk mengatakan hal itu kepda tuannya.’

Aku bertanya, ‘Apa keperluanmu, wahai orang yang kucintai?’

‘Fisikku lemah, aku tidak mampu melayani keperluanmu. Engkau bisa memiliki yang lebih kuat daripada aku. Bukankah telah ditunjukkan budak yang lebih kekar dibandingkan aku kepadamu? Jawab budak tersebut.

Aku katakan, ‘Allah tidak akan melihatku menjadikanmu sebagai pelayan, tetapi aku akan membelikan rumah dan mencarikan istri untukmu. Aku juga akan menjadi pelayanmu.’

Budak itu pun menangis hingga aku bertanya, ‘Apa yang membuatmu menangis?’

‘Engkau tidak akan melakukan semua ini, kecuali karena engkau telah melihat sebagian hubunganku dengan Allah. Jika bukan karena itu, mengapa engkau lebih memilihku daripada budak-budak yang lain?’

Aku jawab, ‘Aku tidak perlu tahu hal itu.’

Budak itu berkata, ‘Aku meminta dengan nama Allah agar engkau memberitahukan kepadaku.’

Aku pun menjawabnya, ‘Semua ini aku lakukan karena doamu mustajab-mudah dikabulkan.’

‘Sesungguhnya aku menganggap engkau-insya Allah-adalah laki-laki yang shalih. Sesungguhnya Allah memiliki hamba-hamba pilihan yang tidak akan Dia perlihatkan keadaan mereka, kecuali kepada hamba-hamba-Nya yang Dia cintai, dan tidak akan menampakkan mereka, kecuali kepada hamba yang Dia ridhai,’ jawab budak itu. Lalu, ia berkata lagi, ‘Bisakah engkau menungguku sebentar karena masih ada beberapa rekaat shalat yang belum aku selesaikan tadi malam?’

Aku jawab, ‘Rumah Fudhail bin Iyadh sudah dekat.’

Budak itu menjawab, ‘Tidak, di tempat ini lebih aku sukai. Bagiku, urusan Allah tidak boleh ditunda-tunda.’ Ia pun masuk ke masjid melalui pintu halaman depan. Ia terus mengerjakan shalat hingga selesai apa yang ia inginkan.

Setelah itu ia menoleh kepadaku seraya berkata, ‘Wahai Abu Andirrahman, apakah engkau memiliki keperluan?’

‘Mengapa engkau bertanya demikian?’ jawabku.

Budak itu menjawab, ‘Karena aku ingin pergi jauh.’

‘Ke mana?’ tanyaku.

‘Ke akhirat,’ jawabnya.

Aku pun berkata kepadanya, ‘Jangan engkau lakukan, biarkan aku merasa senang dengan keberadaanmu!’

Budak itu menjawab, ‘Hidup ini terasa indah jika hubunganku dengan Allah tidak diketahui oleh seorang pun. Adapun setelah engkau mengetahuinya maka orang lain aan ikut mengetahuinya juga sehingga aku merasa tidak butuh lagi dengan semua yang engkau tawarkan itu.’ Kemudian ia tersungkur sujud seraya berdoa, ‘Ya Allah, cabutlah nyawaku agar aku segera bertemu dengan-Mu sekarang juga!’

Aku pun mendekatinya, ternyata ia sudah meninggal dunia.”

Setelah itu Ibnu Mubarak berkata, ‘Fa wallahi, ma dzakartuhu, qaththu illa thala huzni wa shaghuratid dunya fi ‘aini, demi Allah, tidaklah aku mengingat kisah budak ini, kecuali kesedihanku makin mendalam, dunia ini serasa tidak ada artinya lagi bagiku.”

Aduhai, betapa kita cemburu dengan keshalihan laki-laki tanpa nama, tetapi doanya langsung dikabulkan oleh Allah ini. Sungguh, kita juga bisa merasakan apa yang dirasakan oleh Ibnu Mubarak; kita membenci diri kita ketika membandingkan dan mengingat kisah budak hitam ini. Rasa-rasanya kita masih jauh dari surga, negeri yang paling kita cita-citakan, tetapi amalan kita jauh dari itu semua.

No comments:

Post a Comment