Pages

Friday, February 24, 2017

KISAH TIGA LAKI-LAKI DERMAWAN


Di dalam kitabnya, Tarikh Madinati Dimasyq, Ibnu Asakir menyebutkan kisah tentang perdebatan perihal siapakah yang paling dermawan. Inilah orang paling dermawan dari orang-orang dermawan.

Al-Haitsam bin Adi bercerita, “Di sekitar Ka’bah ada tiga orang yang berbeda pendapat tentang orang yang paling dermawan. Orang pertama di antara mereka berkata, ‘Manusia yang paling dermawan adalah Abdullah bin Ja’far bin Abi Thalib.’ Yang kedua berkata, ‘Orang yang paling dermawan pada zaman kita hidup ini adalah Qais bin Sa’ad bin Ubadah.’ Yang ketiga berkata, ‘Anak Adam yang paling dermawan adalah Arabah al-Ausi.’ Mereka tetap bersikukuh dengan pendapat masing-masing. Perdebatan pun makin memanas dan bertambah gaduh.

Lalu ada yang mengusulkan kepada mereka, ‘Kalian terlalu banyak berdebat. Sekarang, janganah kalian pergi hingga masing-masing dari kalian mendatangi orang yang dianggap dan meminta sesuatu kepadanya sehingga ia tahu apa yang ia berikan kepadanya. Itulah yang akan kita jadikan keputusan untuk menentukan orang yang paling dermawan.’

Orang pertama yang menganggap Abdullah bin Ja’far sebagai orang paling dermawan pergi. Kebetulan ia bertemu dengan Abdullah yang sedang menaiki untanya. Ketika itu Abdullah hendak pergi ke ladangnya. Orang itu menyapa Abdullah, ‘Wahai putra paman Rasulullah Saw.!”

Abdullah menjawab, ‘Katakan sesukamu!’

Orang itu berkata, ‘Aku adalah seorang musafir yang kehabisan pembekalan.’

Kemudian Abdullah turun dan berkata, ‘Naikilah unta ini dan ambillah apa yang ada dalam tas ini. Janganlah engkau terpisah dari pedang ini karena ia salah satu pedang Ali bin Abi Thalib. Sekarag, pergilah!’

Setelah itu, Abdullah datang membawa unta lagi, tas yang di dalamnya terdapat harta sejumlah 4.000 dinar, sementara yang paling besar dan paling mulia nilainya adalah pedang.

Orang kedua yang mendukung Qais bin Sa’ad bin Ubadah pun menemui Qais. Namun, kebetulan ia tidak bertemu dengan Qais. Ketika kembali, budak perempuan Qais berkata, ‘Qais sedang tidur. Apa keperluanmu?’

Ia menjawab, ‘Aku adalah seorang musafir yang kehabisan perbekalan.’

Budak itu berkata, ‘Kebutuhan itu lebih remeh daripada membangunkan Qais. Ini ada seantong uang berisi 700 dinar. Pada hari ini rumah Qais tidak ada uang selain ini. Pergilah ke tempat menderumnya unta milik tuan kami dengan di antar oleh dua budak kami. Ambillah satu unta beserta perlengkapannya dan ambillag seorang budak. Setelah itu, pergilah!’

Ketika Qais bangun dari tidurnya, budaknya menceritakan kepada Qais perihal apa yang ia lakukan. Setelah itu Qais membebaskan budak perempuannya itu dan berkata, ‘Mengapa engkau tidak membangunkanku? Aku ingin menambahinya dengan barang-barang yang ada di rumah kami. Bisa jadi apa yang sudah engkau berikan kepadanya belum sesuai dengan apa yang ia inginkan.’

Setelah itu, giliran orang ketiga yang mengunggulkan Arabah al-Ausi pergi menemui Arabah. Ia bertemu dengan Arabah yang sedang keluar dari rumah untuk melaksanakan shalat dengan dipapah oleh dua budaknya karena ia buta. Orang itu menyapa, ‘Wahai Arabah!’

Arabah menjawab, ‘Katakanlah apa yang engkau kehendaki!’

Ia menjawab, ‘Aku adalah seorang musafir yang kehabisan bekal!’

Arabah kemudian melepaskan diri dari papahan dua budaknya, lalu menepukkan tangan kanannya ke tangan kiri dan berkata, ‘Ah ah, demi Allah, aku memasuki waktu pagi dan sore hari dalam keadaan meninggalkan hak-hak harta. Namun, kamu bisa mengambil dua budakku ini.’

Ia berkata, ‘Aku tidak ingin mengambil kedua sayapmu-dua orang yang memapahmu.’

Arabah menjawab, ‘In lam takhudzhuma fa huma hurrani, wa in syi’ta fa a’tiq, wa syi’ta fa khudz, jika kamu tidak mengambil keduanya maka keduanya merdeka. Jika kamu mau, engkau bisa membebaskan keduanya. Jika engkau mau, ambillah!’

Setelah itu Arabah mencari dinding dengan tangannya, sementara orang yang mengunggulkan Arabah dalam kedermawanan pergi membawa dua budak. Ia pun datang kepada dua temannya dengan membawa dua budak tersebut.

Orang-orang yang memutuskan bahwa Ja’far telah berlaku dermawan dengan memberikan harta yang banyak. Ini tidak bisa dipungkiri, yang paling berharga tentu pedang. Qais adalah salah seorang paling dermawan karena ketika budaknya mendermakan hartanya tanpa sepengetahuannya, ia menganggap baik sikap yang dilakukan oleh budaknya, bahkan budaknya juga dibebaskan, ia tidak mempermasalahkan itu. Namun, orang-orang bersepakat bahwa orang yang paling dermawan dari tiga orang itu adalah Arabah al-Ausi karena ia telah memberikan semuanya sekalipun ia sedang membutuhkan.”

Wednesday, February 22, 2017

MANTAN PENYANYI YANG HAFAL AL QUR’AN


Semua nikmat yang ada pada manusia berasal dari Allah. Adapun cara terbaik untuk bersyukur kepada Allah adalah dengan mempergunakan nikmat yang Dia karuniakan untuk mentaati-Nya, termasuk nikmat suara. Berbahagialah orang-orang yang dikaruniai suara yang bagus dan indah. Alangkah lebih indah lagi jka suara indah tersebut digunakan untuk membaca firman-firman Allah yang merupakan surat cinta Allah kepada segenap hamba-Nya.

Syahdan, Zadzan Abu Amru al-Kindi adalah seorang yang suka minum khamar dan gemar bernyanyi. Suara yang indah dalam bernyanyi kemudian di dengar oleh Ibnu Mas’ud r.a. Ibnu Mas’ud r.a. takjub dengan suara emas Zadzan dan berharap agar suara indahnya digunakan untuk membaca Al-Qur’an. Karena ketulusan nasihat dari lubuk hati Ibnu Mas’ud, Zadzan beralih dari seorang penyanyi menjadi seorang penghafal Al-Qur’an.

Kisah ini ditulis oleh seorang ulama generasi tabi’in, yaitu Imam adz-Dzahabi dalam Siyar A’lam An-Nubala-nya.

Adz-Dzahabi menyebutkan riwayat dari Abu Hasyim, ia berkata, “Zadzan pernah bercerita, ‘Dahulu aku adalah seorang pemuda yang memiliki suara merdu dan terampil dalam memainkan thanbur (semacam gitar-penj). Seperti biasa, aku sedang berkumpul dengan kawan-kawanku, ditemani dengan khamar. Sementara itu, aku mendendangkan laguku dan memetik gitarku untuk kawan-kawanku. Ketika Abdullah bin Mas’ud lewat, ia langsung memecahkan botol khamar dan langsung merusak gitarku, kemudian berkata, ‘Lau kana ma yusma’u min husni shautika ya ghulam bil Qur’an kunta anta, andai saja yang diperdendangkan dari merdunya suaramu adalah Al-Qur’an.’

Setelah Ibnu Mas’ud beranjak pergi, aku bertanya kepada teman-temanku, ‘Siapakah orang itu?’

‘Mereka menjawab, ‘Ia adalah Ibnu Mas’ud.’

Lalu, aku memutuskan diri untuk bertaubat, aku mengejarnya sambil menangis. Aku memegangi ujung bajunya dan menyatakan aku bertaubat. Mendengar penuturanku, Ibnu Mas’ud memelukku dan menangis haru. Ia berkata, ‘Marhaban bi man ahabbahullah, marhaban, selamat datang, wahai orang yang dicintai oleh Allah.’

Setelah itu Ibnu Mas’ud mempersilahkanku duduk dan masuk rumah, lalu memberikan kurma kepadaku.”

Pada gilirannya, ia menjadi seorang imam, penghafal Qur’an, dan qari’ setelah sebelumnya sebagai pemusik dan penyanyi. Ia juga dikenal sebagai ulama yang meriwayatkan hadits, orang yang zuhud, dan ahli ibadah. Adz-Dzahabi bahkan menyebutkan kesaksian Zubaid yang berisi pujian tentang shalat Zadzan, “Ketika aku melihat Zadzan shalat, seolah-olah ia adalah batang kurma-karena khusyuknya.”

Mari kita sejenak menghayati kisah ini.

Kisah ini menunjukkan kejujuran Ibnu Mas’ud, niatnya baik dan tujuannya yang lurus dalam mendakwahi Zadzan sehingga menjadi sebab ia mendapatkan hidayah dan bertaubat. Sungguh, ini adalah barakah kejujuran, ketaatan. Dan ketulusan niat. Allah memberikan hidayah kepada Zadzan melalui Abdullah bin Mas’ud, seorang sahabat yang dikenal jujur dan berpribadi baik. Kita tidak akan mungkin bisa memperbaiki orang yang rusak, kecuali jika kita sudah memperbaiki diri kita sendiri, takut kepada Allah letika dalam kesendirian, berlaku ikhlas bergaul dengan orang lain tanpa bermaksud riya’, mencari pujian manusia, baik dalam gerak maupun diam, manauhidkan Allah dalam segala kondisi.

Kunci lain yang dimiliki oleh Ibnu Mas’ud adalah ia mengagungkan dan menghormati perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya sehingga ini mewariskan kewibawaan dan pengagungan. Sungguh benar Amir bin Abdul Qais yang berkata, “Barang siapa yang takut kepada Allah maka Allah akan membuat segala sesuatu takut kepadanya. Barang siapa yang tidak takut kepada Allah maka Allah akan membuatnya takut terhadap segala sesuatu.”

Kisah ini juga menegaskan betapa besarnya kecintaan dan kelembutan pribadi Ibnu Mas’ud. Nasihatnya juga serasa sempurna. Sebab, ketika Zadzan bertaubat, Ibnu Mas’ud langsung memeluknya dan menangis karena terharu dengan taubatnya. Di samping itu, Ibnu Mas’ud juga memberikan ucapan sukacita dengan kata-kata, “Selamat datang, wahai orang yang dicintai Allah,” sebagaimana firman Allah, “Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan mencintai orang-orang yang menyucikan diri.” (QS. Al-Baqarah [2]: 222)

Lebih dari itu, Ibnu Mas’ud juga meminta Zadzan untuk duduk dan memberinya kurma. Inilah sikap ahlu sunah wal jamaah dalam mengajarkan dan mendakwahkan kebenaran serta bersikap lembut dalam bergaul dengan manusia-dalam menasehati mereka.

Kisah ini juga menegaskan kecerdasan Ibnu Mas’ud karena ia berhasil menasehati seseorang sesuai dengan potensi dan bakatnya. Zadzan adalah orang yang memiliki suara yang bagus, ketika Ibnu Mas’ud mengatakan betapa indahnya jika suara bagus Zadzan digunakan untuk melantunkan ayat-ayat Al-Qur’an.

Semoga Allah meridhai Abdullah bin Mas’ud dan merahmati Zadzan.

JIKA KAMU JUJUR, KAMU MERDEKA


Kisah kedermawanan Isa at-Tammar yang berbahagia ketika saudaranya, Fath al-Mushili, mengambil uang dengan sepengetahuan pembantunya ketika ia tidak di rumah sunguh menkjubkan. Kisah indah ini diabadikan oleh Khatib al-Baghdadi dalam Tarikh-nya.

Rabban bin al-Jarrah al-Abdi berkata, “Suatu ketika Fath al-Mushili datang ke rumah salah seorang temannya yang bernama Isa at-Tmmar. Namun, Fath tidak menjumpai Isa di rumahnya, lalu ia berkata kepada pembantu Isa, ‘Tolong keluarkan kantong uang saudaraku.’

Pembantu Isa pun mengeluarkan kantong uang yang dimaksud. Setelah itu Fath membukanya dan mengambil uang dua dirham.

Ketika Isa pulang ke rumah, si pembantu mengabarkan kepadanya tentang kedatangan Fath dan mengambil uang dua dirham. Seketika itu juga, Isa menanggapi, ‘In kunti shadiqah, fa ant hurratun li wajhillah, jika engkau jujur maka engkau akan merdeka karena mengharap ridha Allah.’

Karena apa yang dikatakan pembantunya memang benar, pembantu tersebut pun dibebaskan.”

KEPALA YANG MEMBACA AL QUR'AN


Adalah sebuah karamah. Kepala salah seorang wali Allah yang disalib bisa melantunkan ayat Al-Qur’an. Kisah yang dialami oleh Ahmad bin Nashr ini diabadikan oleh Khathib al-Baghdadi dalam Tarikh Baghdad-nya.

Ibrahim bin Ismail bin Khalaf berkata, “Ketika Ahmad bin Nashr dibunuh dalam sebuah ujian dan kepalanya disalib, aku diberi tahu bahwa kepala Ahmad bin Nashr sedang membaca Al-Qur’an. Mendengar kabar itu, aku langsung pergi menuju tempat penyaliban. Lalu, aku bermalam di dekat kepala Ahmad bin Nashr, yang sedang dijaga oleh pasukan infanteri dan kaveleri.

Tatkala orang-orang sudah tidur, aku mendengar kepala Ahmad bin Nashr membaca firman Allah, ‘Alif lam mim. Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan hanya dengan berkata, ‘Kami telah beriman’ dan mereka tidak diuji.’ Mendengar bacaan itu, kulitku menjadi merinding.

Setelah beberapa waktu, aku mimpi bertemu Ahmad bin Nashr yang sedang memakai pakaian dari sutra halus dan sutra tebal serta memakai mahkota di atas kepalanya. Aku kemudian bertanya, ‘Ma fa’alallahu bika ya akhi, wahai saudaraku, apa yang Allah perbuat kepadamu?’

Ahmad bin Nashr menjawab, ‘Ghafara li wa adkhalanil jannah, Allah telah mengampuni dosaku dan memasukkanku ke surga.’ Ahmad bin Nashr melanjutkan, ‘Hanya saja selama tiga hari ini aku begitu berduka.’

‘Mengapa?’ tanyaku.

Ahmad bin Nashr menjawab, ‘Aku pernah melihat Rasulullah Saw, berjalan melewati aku. Ketika sudah sampai di tempat penyalibanku, beliau memalingkan wajahnya dariku. Setelah berlalu tiga hari, aku berkata kepada beliau, ‘Wahai Rasulullah, aku terbunuh di atas kebenaran atau di atas kebatilan?’

Rasulullah Saw, menjawab, ‘Kamu terbunuh di atas kebenaran, hanya saja kamu dibunuh oleh ahli baitku. Oleh karena itu, jika aku sudah sampai di tempat penyalibanmu, aku malu bertemu denganmu.”

Tuesday, February 21, 2017

TIDAK INGIN DIKENAL


Di antara hamba-hamba Allah ada orang yang dipandang sebelah mata oleh manusia, tetapi ia memiliki kedudukan mulia di hadapan Rabb semua manusia. Ia diremehkan oleh penduduk bumi, tetapi ia dikenal oleh penghuni langit. Ia bertakwa, tetapi menyembunyikan ketakwaannya dan tidak ingin dikenal oleh manusia. Cukuplah menjadi kebanggan baginya jika ia dikenal Allah saja dan sama sekali tidak menghiraukan ucapan manusia tentang dirinya. Alangkah mulianya! Alngah tawadhu’nya! Alangkah suci hatinya!

Ini adalah kisah seorang budak hitam, orang yang kehadirannya tidak dianggap di tengah-tengah manusia, tetapi ia memiliki doa mustajab. Doanya langsung didengar dan dikabulkan oleh Allah Swt. Kisah budak hitam ini disebutkan oleh Ibnul Jauzi dalam kitabnya, Al-Muntazham, ketika menyebutkan beberapa orang yang meninggal pada tahun 158 H, di antaranya adalah seorang budak yang pernah ditemui oleh Ibnu Mubarak ini.

Ibnul Jauzi menyebutkan kisah ini dari Ibnu Mubarak r.a. langsung. Ibnu Mubarak berkata, “Aku mendatangi Mekah ketika manusia ditimpa paceklik, ketika itu mereka sedang melaksanakan shalat Istisqa’ di Masjidil Haram. Aku bergabung dengan orang-orang yang berada di dekat pintu Bani Syaibah. Tiba-tiba muncul seorang budak hitam yang membawa dua potong pakaian yang terbuat dari karung, salah satunya ia jadikan sebagai sarung dan yang lainnya ia jadikan sebagai selendang di pundaknya. Ia mencari tempat yang agak tersembunyi di sampingku.

Aku mendengar ia berdoa, “Ya Allah, banyaknya dosa dan perbuatan yang buruk telah membuat wajah hamba-hamba-Mu menjadi suram. Engkau telah menahan hujan dari langit untuk mendidik mereka. Oleh karena itu, aku memohon kepada-Mu, wahai Dzat yang Maha Penyantun yang tidak segera menimpakan azab, wahai Dzat yang hanya dikebaikannya oleh hamba-hamba-Nya, turunkan hujan sekarang juga!” Ia selalu mengulang-ngulang kalimat, ‘Turunkan hujan sekarang juga!’

Setelah itu langit penuh dengan awan dan hujan pun datang dari semua tempat. Ia masih saja duduk di tempatnya sambil terus bertasbih, sementara aku tidak bisa menahan air mataku.

Ketika ia bangkit meninggalkan tempatnya, aku membuntutinya hingga aku tahu di mana tempat tinggalnya. Aku kemudian pergi menemui Fudhail bin Iyadh. Ketika melihatku, ia pun bertanya, ‘Mengapa melihat dirimu tampak berduka?’

‘Orang lain telah mendahului kita menuju Allah, Dia pun mencukupinya. Sementara kita tidak,’ jawabku.

Fudhail bertanya, ‘Apa maksudnya?’

Aku pun menceritakan kejadian yang baru saja aku saksikan. Mendengar ceritaku, Fudhail bin Iyadh pun terjatuh karena tidak mampu menahan rasa haru. Lalu, Fudhail bin Iyadh pun berkata, ‘Celaka engkau, wahai Ibnu Mubarak, ajaklah aku untuk menemuinya!’

Aku jawab, ‘Waktunya sempit, biarkan aku sendiri yang akan mencari berita tentangnya.’

Keesokan harinya, aku menunaikan shalat Shubuh. Setela shalat aku pergi menuju tempat tinggal budak hitam yang aku lihat kemarin. Ternyata di depan pintu rumahnya ada orang tua yang duduk di atas sebuah alas yang digelar. Ketika ia melihatku, ia pun langsung mengenal aku dan mengatakan, ‘Selamat datang, wahai Abu Abdurahman, apa keperluanmu?’

‘Aku membutuhkan seseorang budak hitam,’ jawabku.

‘Aku memiliki beberapa budak, silahkan pilih mana yang engkau inginkan dari mereka.’

Lalu, ia pun berteriak memanggil budak-budaknya. Keluarlah seorang budak satu per satu kepadaku hingga keluarlah budak yang kumaksud. Ketika melihatnya, aku pun tidak kuasa menahan tumpahan air mata.

Tuannya bertanya kepadaku, ‘Apakah ini budak yang engkau inginkan?’

‘Ya,’ jawabku.

Tuannya berkata lagi, ‘Budak yang ini tidak dijual.’

Aku bertanya, ‘Mengapa tidak dijual?’

Tuannya menjawab, ‘Aku mendapatkan berkah dengan keberadaanya di rumah ini. Di samping itu, ia sama sekali tidak menjadi beban bagiku.’

Aku bertanya, ‘Lalu, dari mana makananya?’

Tuannya menjawab, ‘Ia mendapatkan setengah daniq (satu daniq = seperenam dirham-pent) atau kurang atau lebih dengan berjualan tali, itulah kebutuhan makan sehari-harinya. Kalau ia sedang tidak berjualan, pada hari itu ia gulung talinya. Budak-budakku telah mengabarkan kepadaku bahwa pada malam hari ia hanya tidur sebentar. Ia pun tidak seka berbaur dengan budak-budak yang lain karena sibuk dengan dirinya. Hatiku pun telah mencintainya.’

Aku katakan pada tuan budak hitam tersebut, ‘Apakah aku akan pergi menemui Sufyan ats-Tsaury dan Fudhail bin Iyadh dalam keadaan kebutuhanku tidak terpenuhi?’

Tuan itu menjawab, ‘Kedatangan engkau ke sini merupakan perkara yang besar. Kalau begitu, ambil budak ini sesuai keinginanmu!’ Aku pun membelinya dan membawanya ke rumah Fudhail bin Iyadh.
Setelah berjalan beberapa saat, budak itu bertanya kepadaku, ‘Wahai tuanku!’

Aku jawab, ‘Labaik, aku penuhi panggilanmu.’

Budak itu berkata, ‘Jangan katakan Labaik kepadaku karena seorang budak yang lebih pantas untuk mengatakan hal itu kepda tuannya.’

Aku bertanya, ‘Apa keperluanmu, wahai orang yang kucintai?’

‘Fisikku lemah, aku tidak mampu melayani keperluanmu. Engkau bisa memiliki yang lebih kuat daripada aku. Bukankah telah ditunjukkan budak yang lebih kekar dibandingkan aku kepadamu? Jawab budak tersebut.

Aku katakan, ‘Allah tidak akan melihatku menjadikanmu sebagai pelayan, tetapi aku akan membelikan rumah dan mencarikan istri untukmu. Aku juga akan menjadi pelayanmu.’

Budak itu pun menangis hingga aku bertanya, ‘Apa yang membuatmu menangis?’

‘Engkau tidak akan melakukan semua ini, kecuali karena engkau telah melihat sebagian hubunganku dengan Allah. Jika bukan karena itu, mengapa engkau lebih memilihku daripada budak-budak yang lain?’

Aku jawab, ‘Aku tidak perlu tahu hal itu.’

Budak itu berkata, ‘Aku meminta dengan nama Allah agar engkau memberitahukan kepadaku.’

Aku pun menjawabnya, ‘Semua ini aku lakukan karena doamu mustajab-mudah dikabulkan.’

‘Sesungguhnya aku menganggap engkau-insya Allah-adalah laki-laki yang shalih. Sesungguhnya Allah memiliki hamba-hamba pilihan yang tidak akan Dia perlihatkan keadaan mereka, kecuali kepada hamba-hamba-Nya yang Dia cintai, dan tidak akan menampakkan mereka, kecuali kepada hamba yang Dia ridhai,’ jawab budak itu. Lalu, ia berkata lagi, ‘Bisakah engkau menungguku sebentar karena masih ada beberapa rekaat shalat yang belum aku selesaikan tadi malam?’

Aku jawab, ‘Rumah Fudhail bin Iyadh sudah dekat.’

Budak itu menjawab, ‘Tidak, di tempat ini lebih aku sukai. Bagiku, urusan Allah tidak boleh ditunda-tunda.’ Ia pun masuk ke masjid melalui pintu halaman depan. Ia terus mengerjakan shalat hingga selesai apa yang ia inginkan.

Setelah itu ia menoleh kepadaku seraya berkata, ‘Wahai Abu Andirrahman, apakah engkau memiliki keperluan?’

‘Mengapa engkau bertanya demikian?’ jawabku.

Budak itu menjawab, ‘Karena aku ingin pergi jauh.’

‘Ke mana?’ tanyaku.

‘Ke akhirat,’ jawabnya.

Aku pun berkata kepadanya, ‘Jangan engkau lakukan, biarkan aku merasa senang dengan keberadaanmu!’

Budak itu menjawab, ‘Hidup ini terasa indah jika hubunganku dengan Allah tidak diketahui oleh seorang pun. Adapun setelah engkau mengetahuinya maka orang lain aan ikut mengetahuinya juga sehingga aku merasa tidak butuh lagi dengan semua yang engkau tawarkan itu.’ Kemudian ia tersungkur sujud seraya berdoa, ‘Ya Allah, cabutlah nyawaku agar aku segera bertemu dengan-Mu sekarang juga!’

Aku pun mendekatinya, ternyata ia sudah meninggal dunia.”

Setelah itu Ibnu Mubarak berkata, ‘Fa wallahi, ma dzakartuhu, qaththu illa thala huzni wa shaghuratid dunya fi ‘aini, demi Allah, tidaklah aku mengingat kisah budak ini, kecuali kesedihanku makin mendalam, dunia ini serasa tidak ada artinya lagi bagiku.”

Aduhai, betapa kita cemburu dengan keshalihan laki-laki tanpa nama, tetapi doanya langsung dikabulkan oleh Allah ini. Sungguh, kita juga bisa merasakan apa yang dirasakan oleh Ibnu Mubarak; kita membenci diri kita ketika membandingkan dan mengingat kisah budak hitam ini. Rasa-rasanya kita masih jauh dari surga, negeri yang paling kita cita-citakan, tetapi amalan kita jauh dari itu semua.

PARA JIN MENGAMINI DOANYA


Di antara hamba-hamba Allah yang shalih ada yang bacaan Al-Qur’an-nya didengarkan dengan seksama oleh kaum jin dan di antara mereka ada yang shalih juga ada yang doanya diaminkan oleh kaum jin. Inilah yang dirasakan oleh Hasan al-Ja’di; kaum jin mendengar bacaan khatamannya setiap malam Jum’at dan mengaminkan doa-doanya. Kisah ini ditulis oleh Ahmad bin Marwan ad-Dinawaru dalam kitabnya, Al-Mujalasah wa Jawahir Al-‘Ilm.

Abu Imran at-Tammar berkata, “Pada suatu hari sebelum fajar aku berkeinginan untuk pergi ke majelis Hasan al-Ja’di. Ternyata pintu masjid tertutup. Di dalamnya terdengar ada seseorang yang berdoa dan diamini oleh sebuah kaum. Aku pun duduk sampai si muadzin datang dan membuka pintu masjid.

Ketika pintu masjid sudah dibuka, aku masuk. Ternyata Hasan duduk sendirian dan wajahnya menghadap ke kiblat. Aku pun duduk hingga shalat Shubuh selesai dan orang-orang pun bubar.
Aku berkata kepada Hasan, ‘Ra’aitu ‘ajaban al-yaum, hari ini aku melihat kejaiban.’

‘Apa yang kamu lihat?’ tanya Hasan.

‘Aku datang ke masjid ini sebelum fajar ketika engkau sedang berdoa dan sebuah kaum yang mengamini doa yang engkau panjatkan. Ketika aku masuk masjid, ternyata aku tidak melihat seorang pun di masjid, kecuali engkau.’

Hasan al-Ja’di pun menjawab, “Mereka adalah para jin dari penduduk Nashib. Mereka menyaksikan khataman Al-Qur’an bersamaku setiap malam Jum’at. Setelah itu mereka pergi berpencar.”

Sunday, February 19, 2017

MAMPU BERBICARA SETELAH MENINGGAL DUNIA (2)


Ini adalah keajaiban yang diperuntutkan Allah bagi orang yang dikehendaki-Nya. Sebagaimana Allah mampu untuk menciptakan alam buana, Allah Maha mampu untuk membuat bicara orang yang sudah meninggal dunia. Kisah bicaranya yang sudah meninggal dunia ini diabadikan oleh Ahmad bin Marwan ad-Dinawari dalam kitabnya, Al-Mujalasah wa Jawahir Al-‘Ilmi, dan Sayyid Husain Affani dalam Shalah Al-Ummah fi ‘Uluwwi Al-Himmah.

Dari Abdul Malik bin Umair, dari Rib’i bin Hirasy, ia berkata, “Suatu hari aku menemui keluargaku, kemudian ada yang mengabarkan kepadaku, ‘Saudaramu, fulan, telah tiada.’ Lalu ketika aku mendapati saudaraku dibalut dengan kain kafan dan aku berada di dekat kepalnya untuk memohonkan rahmat dan beristighfat untuknya, tiba-tiba kain kafannya tersingkap dari wajahnya dan ia berkata, ‘Assalamu ‘alaikum.’

Kami pun menjawab, ‘Wa alaikumsalam, subhanallah, ba’dal mauti, subhanallah! Mampu bicara setelah meninggal dunia.’

Kemudian, saudaraku yang meninggal itu berkata, ‘Aku telah diberi ruh dan raihan serta telah bertemu dengan Rabb yang tidak murka. Dia juga telah mengenakan pakaian dari sutra halus dan kasar kepadaku. Aku pun mendapati urusan yang lebih mudah daripada yang kalian sangkakan. Janganlah kalian berpangku tangan. Sebenarnya aku telah meminta izin kepada Rabbku agar aku diperkenankan memberi tahu dan memberikan kabar gembira kepada kalian. Oleh karena itu, sekarang bawalah aku untuk bertemu Rasulullah Saw. Aku telah diberikan janji bahwa sebentar lagi aku akan bertemu dengan beliau.’ Setelah itu saudaraku meninggal lagi.”

MAMPU BERBICARA SETELAH MENINGGAL DUNIA (1)


Di dalam kitabnya, Man ‘Asyr Ba’dal Maut, Ibnu Abid Dunya menceritakan sebuah kisah orang yang mampu berbicara, padahal ia sudah meninggal dunia, yaitu kisah Zaid bin Kharijah.

Dari Nu’man bin Basyir, ia berkata, “Zaid bin Kharijah termasuk keturunan bangsawan kaum Anshar. Ayahnya bersama Kharijah bin Sa’ad. Ketika Abu Bakar hijrah ke Madinah, ia singgah di rumahnya. Ayahnya dan Sa’ad gugur dalam perang Uhud. Zaid bin Kharijah dikaruniai usia panjang, ia mendapati masa Khalifah Abu Bakar, Umar, dan beberapa tahun masa Khalifah Utsmanbin Affan. Sampai akhirnya ia meninggal dunia dengan cara yang sangat mengejutkan.

Pada suatu hari, selepas shalat Dhuhur, Zaid bin Kharijah berjalan di sebuah jalanan Kota Madinah. Begitu mendengar berita duka tersebut, orang-orang Anshar segera berdatangan ke tempat kejadian. Lalu, mereka membawa mayat Zaid ke rumahnya dan menutupinya dengan tiga lapis kain selimut. Pada saat itu beberapa orang wanita dan laki-laki kaum Anshar sedang menangisinya. Jenazah Zaid dibiarkan seperti itu.

Tanpa diduga, selepas shalat Maghrib waktu itu, tiba-tiba orang-orang mendengar seseorang berkata, ‘Diamlah, diamlah!’ Mereka saling memandang satu sama lain. setelah diperhatikan ternyata suara itu keluar dari balik kain kafan Zaid. Lalu, mereka membuka bagian wajah dan dadanya. Ada yang berkata lewat mulut Zaid, ‘Muhmmad Saw, adalah utusan Allah, seorang nabi yang ummi, dan penutup para nabi. Tidak ada nabi sesudah beliau. Hal itu ada pada kitab yang pertama.’

Selanjutnya, ia berkata, ‘Ia benar, ia benar, dan ia benar. Abu Bakar adalah Khalifah Rasulullah Saw, yang jujur dan terpercaya. Fisiknya memang lemah, tetapi ia sangat kuat dalam hal yang menyangkut Allah. Hal itu ada dalam kitab yang pertama.’

Kemudian ia melanjutkan, ‘Ia benar, ia benar, dan ia benar. Khalifah yang tengah itu adalah manusia yang sangat kuat. Demi menegakkan urusan Allah, ia sama sekali tidak takut cercaan orang yang mencerca. Ia mengingatkan manusia supaya yang kuat di antara mereka tidak menindas yang lemah. Hamba Allah itu bernama Umar, Amirul Mu’minin. Hal itu ada pada kitab yang pertama.’

Setelah itu ia berkata, ‘Ia benar, ia benar, dan ia benar. Amirul Mu’minin Utsman adalah orang yang sangat sayang kepada orang-orang yang beriman. Ia telah menyelamatkan masa pemerintahannya, manusia tidak memiliki aturan sama sekali. Racun dihalalkan. Sesama manusia saling memangsa. Itu pertanda bahwa hari Kiamat sudah sangat dekat. Lalu, orang-orang mu’min sadar dan berkata, ‘Wahai manusia, ingatlah Kitab Allah dan ketentuan-Nya. Bergabunglah dengan pemimpin kalian. Taat dan patuhlah kepadanya karena ia mengikuti jejak para pendahulunya. Siapapun yang memegang kekuasaan, jangan membiarkan ada pembunuhan. Kiamat adalah sesuatu yang telah ditentukan. Kiamat adalah sesuatu yang telah ditentukan.’

Kemudian ia berkata, ‘Ada neraka dan ada surga. Para nabi dan para syuhada’ berkata, ‘Semoga salam sejahtera selalu tercurah padamu, wahai Abdullah bin Rawahah. Masih ingatkah kamu pada ayahku, Kharijah dan saudaraku, Sa’ad ketika keduanya gugur dalam Perang Uhud?’

Kemudian, ia membaca firman Allah, ‘Sama sekali tidak! Sungguh neraka itu api yang bergrjolak, yang mengelupas kulit kepala. Yang memanggil orang yang membelakangi dan yang berpaling (dari agama), dan orang yang mengumpulkan (harta benda) lalu menyimpannya.’ (QS. Al-Ma’arij[70]: 15-18)

Terakhir, ia mengatakan, ‘Ini adalah Rasulullah Saw. Semoga salam sejahtera, rahmat, dan berkah Allah selalu dilimpahkan kepada engkau, wahai utusan Allah.”

Nu’man berkata, “Ada yang mengatakan kepadaku bahwa Zaid bin Kharijah mampu berbicara setelah meninggal dunia. Lalu, aku segera mengayunkan langkah dengan cepat menuju rumahnya. Dengan melangkahi pundak orang-orang, aku berhasil mendekatinya. Aku mendengar ia mengatakan, ‘Yang paling tengah adalah manusia yang paling kuat.’

Aku bertanya kepada orang-orang yang lebih dahulu hadir tentang apa yang dikatakan Zaid sebelumnya. Lalu, mereka menceritakan apa yang mereka dengar.” Nukilan selesai sampai di sini.
Isnad atsar ini adalah hasan. Kisah Zain bin Kharijah yang mampu berbicara setelah mati dan kesaksian yang diberikan tentang Nabi Saw, Abu Bakar, Umar, dan Utsman bahwa hal itu benar adalah shalih karena diriwayatkan dari banyak jalur.

Friday, February 17, 2017

LAKI-LAKI PENGHUNI SURGA


Orang yang paling bahagia dan beruntung adalah orang yang kelak dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga. Itulah kebahagiaan dan keberuntungan yang hakiki. Oleh karena itu, berbahagialah orang-orang yang dijamin masuk surga oleh Allah dan Rasul-Nya. Salah satu dari mereka adalah Abdullah bin Salam. Jaminan itu berdasarkan sabda Nabi Saw, ketika menafsirkan mimpi yang dialami oleh Abdullah bin Salam. Kisah ini disebutkan oleh Imam Muslim dalam Shahih-nya dalam bab keutamaan Abdullah bin Salam. Berikut kisahnya.

Dari Khurasyat bin al-Hura, ia bercerita, “Aku pernah ikut dalam satu majelis pertemuan di Masjid Madinah. Di situ terdapat orang lanjut usia, tetapi simpatik rupanya, yaitu Abdullah bin Salam. Ia menyampaikan sebuah cerita yang bagus kepada mereka. Begitu Abdullah bin Salam baru saja berdiri meninggalkan tempatnya, orang-orang di sana berkata, ‘Barang siapa yang suka untuk melihat seorang penghuni surga, hendaklah ia melihat orang itu.’

Saat itu aku bertekad untuk mengetahui tempat tinggalnya. Aku pun mengikutinya. Ia terus berjalan. Baru ketika akan keluar dari Madinah, ia memasuki rumahnya. Aku permisi untuk masuk, aku dipersilahkannya.

Ia bertanya kepadaku, ‘Ada keperluan apa, wahai keponakanku?”

Aku menjawab, ‘Ketika tadi engkau meninggalkan tempat, orang-orang membicarakanmu. Kata mereka, ‘Man sarrahu an yanzhura ila rajulin min ahlil jannah, falyanzhur ila hazha, barang siapa yang ingin melihat seorang penghuni surga, hendaklah ia melihat orang ini-maksudku engkau.’ Itulah yang membuat aku merasa kagum kepadamu.’

Abdullah bin Salam menjawab, ‘Allah-lah sebenarnya yang paling tahu mengenai penghuni surga. Namun, baiklah aku akan ceritakan kepadamu mengapa mereka sampai berkata seperti itu. Bigini, pada saat aku sedang tidur, tiba-tiba seorang laki-laki datang kepadaku dan berkata, ‘Bangunlah! Kemudian, ia memegang tanganku dan aku pun pergi bersamanya. Tiba-tiba saja di sebelah kiriku terdapat sebuah jalan. Aku hendak melangkahkan kakiku di jalan itu, tetapi tiba-tiba ia berkata kepadaku, ‘Jangan kau tapakkan kakimu di jalan itu karena itu adalah jalannya penghuni neraka!’ ketika menoleh ke sebelah kanan, aku melihat ada sebuah jalan yang lurus sekali. Ia berkata kepadaku, ‘Berjalanlah di jalan itu!’

Lalu, aku dibawa ke sebuah gunung. Ia berkata kepadaku, ‘Naiklah! Aku mencoba untuk naik, tetapi gagal. Hal itu berlangsung beberapa kali. Kemudian, ia membawaku pada sebuah tiang. Ujung atasnya menjulang sampai langit dan ujung bawahnya menancap ke bumi. Di bagian atas tiang terdapat seutas tali. Ia berkata kepadaku, ‘Naiklah ke atas sana.’ Aku jawab, ‘Bagaimana aku bisa naik tiang yang ujung atasnya menjulang sampai ke langit?’ lalu, ia memegangi tanganku dan melemparkanku. Aku berpegangan kepada tali. Kemudian, ia memukul tiang tersebut hingga roboh, sementara aku tetap bergelantungan pada tali itu sampai pagi.

Pada pagi harinya, aku menemui Nabi Saw, dan menceritakan pengalaman mimpiku kepada beliau. Beliau bersabda, ‘Mengenai jalan yang kamu lihat berada di sisi kirimu, itu adalah jalan para penghuni neraka. Adapun jalan yang kamu lihat berada di sebelah kanan, itu adalah jalan para penghuni surga. Tentang gunung itu adalah tempat para syuhada’. Jadi kamu tidak mungkin dapat mencapainya. Tiang itu adalah tiang Islam, dan tali itu pun tali Islam. Kamu akan terus berpegang kepadanya sampai meninggal dunia.”

SUNGKEM: (Tradisi Nusantara)


Di antara serangkaian foto Pak Harto dan Ibu semenjak menjabat kedudukan tertinggi selaku presiden RI, banyak anggota masyarakat yang terkesan oleh gambar beliau pada waktu melakukan sungkem di haribaan ibundanya. Dan foto almarhum presiden RI pertama (Bung Karno) yang paling digemari rakyat adalah adegan sungkem di hadapan ibundanya juga.

Sungkem, sikap setengah bersujud hampir di telapak kaki orang tua pada hari Lebaran, adalah momentum yang paling mengharukan dan penuh makna bagi anak dan orang tua. Pada saat itulah tertumpah segala macam gejolak rasa yang mengendap selama paling tidak satu tahun di dalam jiwa setiap anak dan orang tua. Rasa itu sulit digambarkan karena bercampur antara penyesalan, tobat, harapan, rindu, ketakutan akan berpisah, terima kasih, dan berjuta macam lagi endapan rasa berbaur tak terbayangkan.

Melalui upacara sungkem, yang tidak saja dilakukan oleh anak terhadap orang tua, tetapi pula antara istri kepada suami, tiba-tiba segala beban yang menyekat antara anak dan orang tua, antara suami dengan istri, seolah sirna begitu saja, lenyap tanpa sisa.

Jadi, apakah adat semacam ini masih relevan bagi zaman serba komputer ini?

Nyaris semua kalangan berpendapat sama bahwa tradisi sungkem justru harus dilestarikan. Apalagi pada masa manusia hampir senantiasa mengartikan hubungan di antara sesama manusia, termasuk dengan orang tua, hanya melalui lambang-lambang yang bersifat bendawi, berupa hadiah-hadiah kemewahan dan materi, meskpun hal demikian tak dipersalahkan.

Dengan sungkem, hubungan tersebut seakan lebih menghujam ke dalam hati nurani, Seorang anak seakan berkata kepada orang tuanya, melalui air mata yang tertumpah manakala sedang bersujud di ujung kaki mereka, "Ayah, Bunda, ditelapak kakimu terletak surga. Dengan ridlamu saja Allah akan menurunkan ridla-Nya kepadaku."

Terbayanglah kemudian sebuah riwayat, ketika seorang sahabat datang mengadu kepada Nabi Saw, mengenai ibunya yang makin cerewet dan sering menyakiti hati dengan mulutnya yang tajam serta rewel, padahal untuknya ia telah menyediakan segala keperluannya, termasuk pangan dan tempat tinggal.

Rasulullah Saw, waktu itu berkata, "Bayarkan haknya. Seandainya dirajangnya dagingmu pun, belum terbayar seperempat hak ibumu itu."

"Apakah kamu belum tahu, surga itu berada di telapak kaki kaum ibu?"

Ingatlah Alqamah. Ia baru bisa mengucapkan kalimah tauhid menjelang ajalnya sesudah dimaafkan ibunya. Ingatlah Malin Kundang. Ia menjadi batu karena durhaka kepada ibunya.

MUDIK LEBARAN: (Kewajiban yang Harus Ditunaikan Para Perantau)


Dengan seorang anak yang masih menyusu di gendongan, dan dua anak lagi yang berumur hampir sebaya memegangi kedua tangannya, ibu setengah tua itu menunggu kesempatan untuk dapat naik bis antarkota yang serat penumpang.

Suaminya sedang berusaha memasuk-masukkan koper dan barang bawaan lainnya ke dalam bis. Keringat membasahi sekujur tubuhnya. Napasnya tersenggal-sengal kepayahan. Namun, di wajahnya tergambar kebahagiaan. Juga di wajah istri dan ketiga orang anaknya. Mereka tidak merasa tersiksa walaupun kenyataannya amat tersiksa oleh segala kerepotan itu.

Seperti calon penumpang lainnya, sesudah bergulat dengan kesibukan kota dalam upaya mencari kesejahteraan hidup bagi keluarganya, suami-istri itu bertekat hendak pulang mudik, dengan cara apa pun dan dengan biaya berapa pun.

Dalam kaitan ini, mereka tidak lagi memakai logika untung-rugi, atau perhitungan matematis, dua kali dua sama dengan empat. Sebab menghadapi mudik Lebaran, yang menjadi tujuannya ialah bagaimana bisa melampiaskan kerinduan terhadap kampung halaman, walaupun kampung halaman terbukti tidak mampu memberikan kelapangan hidup. Toh, untuk keperluan mudik Lebaran, korban material, betapa pun besarnya bukan merupakan kendala yang dapat merintangi keinginan tersebut. Kalau perlu, separuh dihabiskan untuk biaya mudik Lebaran.

Demikian yang berlangsung di Pulo Gandung, stasiun bis jurusan ke Timur dari Jakarta, atau stasiun Kalideres, tempat para penumpang Jakarta menuju ke Barat. Juga di stasiun bis Jembatan Merah Surabaya, pangkalan penyeberangan ferry dari atau ke Bali, bahkan di lapangan-lapangan terbang. Frekuensi penerbangan domestik harus ditambah mengingat arus penumpang pesawat membludak menjelang akhir bulan Ramadhan.

Pemandangan yang tidak aneh kalau selama seminggu mendekati Lebaran, kareta api ke segala penjuru dijejali penumpang melebihi batas kapasitasnya. Jika ingin memperoleh tempat duduk, kita harus sudah berada di stasiun kereta api minimal lima jam lebih awal. Sebab, tiket kereta api dijual tanpa nomor tempat duduk. Andai kata ada satu gerbong saja yang penumpangnya sesuai dengan jumlah kursi, mungkin kita akan curiga, jangan-jangan di gerbong itu tersembunyi sebuah bom yang bisa meledak sewaktu-waktu.

Lebaran berasal dari kata "lebar" dan akhiran "an". Dalam bahasa Jawa, "lebar" sama artinya dengan "bubar". Jadi, Lebaran adalah sinonim "Bubaran". Atau sering pula disebut "Bodo" yang berasal dari bahasa Arab, Ba'da, di-Jawa-kan menjadi bakdo, artinya sesudah.

Itu semua mengandung pengertian bahwa Hari Bahagia telah datang sesudah sebulan menjalankan ibadah puasa.

Isyarat untuk bergembira memang diberikan oleh Islam pada akhir bulan Ramadhan. Misalnya, dengan menghidupkan malam Idul Fitri untuk bertakbir dan bertahmid. Malah dalam sebuah hadits Nabi bersabda:

"Barangsiapa menghidup-hidupkan Hari Raya malam Nishfu Sya'ban dan dua malam Hari Raya (Idul Fitri dan Idul Adha), maka hatinya tak kan mengalami kematian pada waktu semua hati mati."

Lalu disunahkannya makan dulu sebelum menjalankan shalat Id dan diaturnya perjalanan menuju ke tempat shalat supaya memilih jarak yang lebih panjang dengan mengambil dua jalan yang berbeda pada waktu berangkat dan pulangnya.

Kemudian, kewajiban membayar zakat fitrah, zakat diri, kepada kaum dlu'afa, kaum lemah yang wajib disantuni, juga mengandung hikmah agar dlu'afan tersebut dapat ikut bergembira-ria pada Hari Raya.

Barangkali bertolak dari sinilah tradisi mudik Lebaran berkembang menjadi "kewajiban" yang harus ditunaikan oleh para perantau, supaya orang-orang sekampung, terutama sanak famili, ikut mencicipi secuil kegembiraan bersama kelebihan yang telah diperoleh kaum perantau itu selama pengembaraannya di luar kampung halaman. Maka pemerataan kegembiraan itu biasanya dimanifestasikan dalam kegiatan yang lebih mudah dirasakan bersama, umpamanya dengan memasang petasan atau membakar kembang api.

Untuk semacam ini, terpakasa dengan sadar kita harus berdiri sejenak di luar jalur kaidah formal dan realitas. Sebab, kenyataannya, itulah yang umum dilakukan meskipun jelas tindakan itu merupakan pemborosan, dan pemborosan bertentangan dengan ajaran Islam.

Adapun bagi para mudikin dan mudikat, kesulitan dan mahalnya biaya, bahkan kadang-kadang ancaman musibah untuk terlaksananya niat mudik itu, jauh amat remeh dibandingkan dengan yang bakal mereka dapatkan di kampung halaman, yakni kembalinya harga diri sebagai manusia, dan keakraban suasana di antara tetangga dan keluarga. Lantaran di arena perantauan mereka hanya merasa atau diperas tenaganya siang-malam untuk hal yang mereka sendiri sering tidak mengetahuinya. Mereka hanya merasakannya sebagai sesuatu yang tidak boleh tidak mesti dilakukan. Pilihan lain tidak ada yang terbuka. Akibatnya, terjadilah kesenjangan hubungan manusiawi, termasuk dengan anak atau dengan keluarga sendiri.

CUNGKUP GUNUNG SEMBUNG


Sebetulnya makam Sunan Gunung Jati berada di kampung Gunung Sembung. Sekarang dipisahkan oleh jalan raya menuju Indramayu dari kawasan asli yang disebut Astana Gunung Jati. Di sini juga terdapat beberapa makam yang diduga keramat, terutama yang terkenal sebagai pesarehan Syaikh Datuk Hafidz yang kabarnya berasal dari Baghdad dan mendirikan Pesantren atau Pengguron Jala Tunda. Di Pesantren inilah kemudian Syarif Hidayatullah bermukim serta mengajar hingga namanya tersohor dengan julukan Sunan Gunung Jati. Setelah wafat, baru jenazahnya ditanam di Gunung Sembung yang terletak berseberangan.

Berbeda dengan riwayat lain yang mengungkapkan bahwa Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah adalah juga Fatahillah atau Fatalehan, legenda setempat justru menyatakan dengan tegas bahwa Syarif Hidayatullah bukan Fatahillah. Mereka hanya dua orang wali yang kebetulan hidup satu zaman.

Adapun menurut legendawan Cirebon, Syarif Hidayatullah adalah keturunan raja Mesir dan Prabu Siliwangi dari Kerajaan Pajajaran. Konon, seorang mubaligh bernama Syaikh Quratul'ain dari Mekah mendarat di Pulau Bata (Karawang-sekarang) membawa pengikut seorang gadis cantik dari Campa, namanya Nyi Mas Subang Larang. Ketika sang mubaligh menghadap Prabu Siliwangi untuk memohon izin menyebarkan Islam di jajahan Pajajaran, sang Raja terpikat oleh keelokan muridnya. Prabu Siliwangi lantas melamarnya. Gadis itu bersedia menjadi permaisuri sang Raja asalkan pernikahannya dilaksanakan sesuai dengan ajaran Islam.

Raja menyanggupi. Bahkan kabarnya langsung memeluk agama Islam. Dari perkawinan tersebut lahirlah tiga orang anak, yaitu Raden Walangsungsang, Nyi Mas Rara Santang, dan Raden Jaka Sengara yang kemudian masyhur sebagai Kian Santang.

Raden Walangsungsang sesudah dewasa beristrikan Nyi Mas Indah Ayu. Beberapa waktu kemudian, disertai istri dan adik perempuannya, Raden Walangsungsang meninggalkan Pajajaran untuk berguru memperdalam agama Islam kepada Syaikh Nurul Jati di Pesisir Jati. Setelah itu Walangsungsang diperintahkan gurunya untuk membangun padepokan di sebelah selatan Pasir Jati. Di situ, selain bercocok tanam untuk menunjang kehidupan mereka, Walangsungsang beserta istri dan adiknya juga mencari udang kecil yang disebut rebon. Itulah sebabnya daerah itu dinamakan Cirebon.

Setelah Cirebon berkembang pesat, Walangsungsang bertiga ditugaskan berangkat ke Tanah Suci untuk menunaikan ibadah haji. Di Mekah Nyi Mas Rara Santang berpapasan dengan raja Mesir, Sultan Syarif Abdullah. Raja Mesir tersebut terpikat oleh putri dari Pajajaran itu. Mereka kemudian menikah. Dari perkawinan inilah lahir Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati.

Itulah riwayat sang Sunan yang kuburannya dikeramatkan menurut versi legendawan Cirebon. Tentu saja mana yang benar dari segi sejarah di antara beragam cerita dan dongeng itu, sulit untuk ditetapkan secara tegas. Lantaran, sebagaimana pekatnya misteri yang melingkupi kehidupan para wali, begitu pula silsilahnya masih tetap diperselisihkan hingga saat ini. Mungkin perselisihan itu bakal menjadi legenda sendiri. Siapa tahu.

Maka, ketika kami melangkah ke luar meninggalkan makam Sunan Gunung Jati dengan lagi-lagi dikerubuti para pengutip derma yang kali ini terdiri atas sejumlah orang tua dan kaum dewasa, bersamaan dengan kepulan debu membumbung ke udara, membumbung pula tanda tanya tidak terjawab. Mengapa keramat makam itu hanya memberi berkah kepada masyarakat luar, dan tidak kepada penduduk sekitar yang tampaknya serba suram dan kelabu?