Dengan seorang anak yang masih menyusu di gendongan, dan dua anak lagi yang berumur hampir sebaya memegangi kedua tangannya, ibu setengah tua itu menunggu kesempatan untuk dapat naik bis antarkota yang serat penumpang.
Suaminya sedang berusaha memasuk-masukkan koper dan barang bawaan lainnya ke dalam bis. Keringat membasahi sekujur tubuhnya. Napasnya tersenggal-sengal kepayahan. Namun, di wajahnya tergambar kebahagiaan. Juga di wajah istri dan ketiga orang anaknya. Mereka tidak merasa tersiksa walaupun kenyataannya amat tersiksa oleh segala kerepotan itu.
Seperti calon penumpang lainnya, sesudah bergulat dengan kesibukan kota dalam upaya mencari kesejahteraan hidup bagi keluarganya, suami-istri itu bertekat hendak pulang mudik, dengan cara apa pun dan dengan biaya berapa pun.
Dalam kaitan ini, mereka tidak lagi memakai logika untung-rugi, atau perhitungan matematis, dua kali dua sama dengan empat. Sebab menghadapi mudik Lebaran, yang menjadi tujuannya ialah bagaimana bisa melampiaskan kerinduan terhadap kampung halaman, walaupun kampung halaman terbukti tidak mampu memberikan kelapangan hidup. Toh, untuk keperluan mudik Lebaran, korban material, betapa pun besarnya bukan merupakan kendala yang dapat merintangi keinginan tersebut. Kalau perlu, separuh dihabiskan untuk biaya mudik Lebaran.
Demikian yang berlangsung di Pulo Gandung, stasiun bis jurusan ke Timur dari Jakarta, atau stasiun Kalideres, tempat para penumpang Jakarta menuju ke Barat. Juga di stasiun bis Jembatan Merah Surabaya, pangkalan penyeberangan ferry dari atau ke Bali, bahkan di lapangan-lapangan terbang. Frekuensi penerbangan domestik harus ditambah mengingat arus penumpang pesawat membludak menjelang akhir bulan Ramadhan.
Pemandangan yang tidak aneh kalau selama seminggu mendekati Lebaran, kareta api ke segala penjuru dijejali penumpang melebihi batas kapasitasnya. Jika ingin memperoleh tempat duduk, kita harus sudah berada di stasiun kereta api minimal lima jam lebih awal. Sebab, tiket kereta api dijual tanpa nomor tempat duduk. Andai kata ada satu gerbong saja yang penumpangnya sesuai dengan jumlah kursi, mungkin kita akan curiga, jangan-jangan di gerbong itu tersembunyi sebuah bom yang bisa meledak sewaktu-waktu.
Lebaran berasal dari kata "lebar" dan akhiran "an". Dalam bahasa Jawa, "lebar" sama artinya dengan "bubar". Jadi, Lebaran adalah sinonim "Bubaran". Atau sering pula disebut "Bodo" yang berasal dari bahasa Arab, Ba'da, di-Jawa-kan menjadi bakdo, artinya sesudah.
Itu semua mengandung pengertian bahwa Hari Bahagia telah datang sesudah sebulan menjalankan ibadah puasa.
Isyarat untuk bergembira memang diberikan oleh Islam pada akhir bulan Ramadhan. Misalnya, dengan menghidupkan malam Idul Fitri untuk bertakbir dan bertahmid. Malah dalam sebuah hadits Nabi bersabda:
"Barangsiapa menghidup-hidupkan Hari Raya malam Nishfu Sya'ban dan dua malam Hari Raya (Idul Fitri dan Idul Adha), maka hatinya tak kan mengalami kematian pada waktu semua hati mati."
Lalu disunahkannya makan dulu sebelum menjalankan shalat Id dan diaturnya perjalanan menuju ke tempat shalat supaya memilih jarak yang lebih panjang dengan mengambil dua jalan yang berbeda pada waktu berangkat dan pulangnya.
Kemudian, kewajiban membayar zakat fitrah, zakat diri, kepada kaum dlu'afa, kaum lemah yang wajib disantuni, juga mengandung hikmah agar dlu'afan tersebut dapat ikut bergembira-ria pada Hari Raya.
Barangkali bertolak dari sinilah tradisi mudik Lebaran berkembang menjadi "kewajiban" yang harus ditunaikan oleh para perantau, supaya orang-orang sekampung, terutama sanak famili, ikut mencicipi secuil kegembiraan bersama kelebihan yang telah diperoleh kaum perantau itu selama pengembaraannya di luar kampung halaman. Maka pemerataan kegembiraan itu biasanya dimanifestasikan dalam kegiatan yang lebih mudah dirasakan bersama, umpamanya dengan memasang petasan atau membakar kembang api.
Untuk semacam ini, terpakasa dengan sadar kita harus berdiri sejenak di luar jalur kaidah formal dan realitas. Sebab, kenyataannya, itulah yang umum dilakukan meskipun jelas tindakan itu merupakan pemborosan, dan pemborosan bertentangan dengan ajaran Islam.
Adapun bagi para mudikin dan mudikat, kesulitan dan mahalnya biaya, bahkan kadang-kadang ancaman musibah untuk terlaksananya niat mudik itu, jauh amat remeh dibandingkan dengan yang bakal mereka dapatkan di kampung halaman, yakni kembalinya harga diri sebagai manusia, dan keakraban suasana di antara tetangga dan keluarga. Lantaran di arena perantauan mereka hanya merasa atau diperas tenaganya siang-malam untuk hal yang mereka sendiri sering tidak mengetahuinya. Mereka hanya merasakannya sebagai sesuatu yang tidak boleh tidak mesti dilakukan. Pilihan lain tidak ada yang terbuka. Akibatnya, terjadilah kesenjangan hubungan manusiawi, termasuk dengan anak atau dengan keluarga sendiri.
Good Articel For Gaming
ReplyDeleteRajaidr
Ratuidr
Judi Bank Online 24jam
Agen Poker Bank Online 24jam
Agen BandarQ Bank Online 24jam
Link Alternatif Rajaidr
Agen Bandar Kiu
Bandar Kiu Terpercaya
Rajaidr
Ratuidr
Judi Bank Online 24jam
Link Alternatif Rajaidr
BandarQ
Bandar Kiu
Agen Bandar Kiu Bank Online 24jam
Rajaidr
Ratuidr
Situs Poker Online Terpercaya
Situs Poker Online
Agen Poker
Agen Domino
Agen BandarQ
Agen Bandar Kiu
Domino 99
Poker Online Terpercaya
Rajaidr
Ratuidr